HAKEKAT
MANUSIA
Al-Qur’an bukanlah semata-mata kitab
yang memuat koleksi hukum. Ia bukan pula Kitab Suci yang berisikan sederetan
perintah dan aturan-aturan yang kering, dan tanpa komentar. Al-Qur’an berisikan
hukum sekaligus sejarah, seruan sekaligus interpretasi tentang penciptaan dan
berbagai hal lain yang sangat luas dan mendalam bila dikaji secara benar.Ia
menerangkan rahasia dan hikmah dibalik penciptaan bumi dan langit,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia, rahasia tujuan hidup setelah kematian, kebesaran
dan penderitaan, pertumbuhan dan kemerosotan, serta kemakmuran dan kemiskinan.
Al-Qur’an bukan pula semata-mata risalah
filsafat, walaupun secara eksplisit, ia telah mengungkapkan pandangan-pandangan
yang utama dalam filsafat, yaitu:
1. Alam semesta
2. Manusia
3. Masyarakat
Sehubungan dengan konteks ini, salah
satu hal yang dikomentari juga dalam Al-Qur’an adalah masalah penciptaan pria
dan wanita. Apabila kita memperhatikan pandangan Al-Qur’an mengenai penciptaan
pria dan wanita, maka kita harus melihat apakah Al-Qur’an memandang wanita dan
pria sebagai satu hekekat esensi ataukah dua?
Al-Qur’an secara jelas mengatakan di
beberapa ayatnya bahwa Allah menciptakan wanita dari dari sifat dan esensi yang
sama dengan pria. Adapun tentang Adam as, Al-Qur’an mengatakan, “Tuhanmu telah
menciptakan kamu dari satu jiwa, dan darinya Allah menciptakan pasangannya:
(QS. 4:1). Dari sisi esensi lahiriah, Allah swt menjelaskan bahwa pasangan bagi
pria, yakni wanita, telah diciptakan dari jenis substansi yang sama dengan
pria, yakni yang berasal dari debu atau tanah.
Terkait dengan kisah Adam as, Allah swt
di dalam Al-Qur’an tidak pernah menuduhkan bahwa iblis telah menggoda Hawa as,
lalu Hawa as menggoda Adam as seperti yang dipersepsikan Alkitab Yahudi (Kristen:
Perjanjian Lama). Maksudnya, Al-Qur’an tidak menuduh bahwa Hawa as adalah
terdakwa utama.
Akan tetapi, Al-Qur’an justru selalu
menggunakan kata ganti bahasa Arab untuk dua orang secara bersamaan pada saat
iblis berusaha memperdaya Adam as dan Hawa as.
* “Fa waswasa lahuma syaithan” (QS. 7:20)
* “fa dallahuma bi ghururin” (QS. 7:22)
* “fa qasamuhuma inni lakuma laminan nasihin” (QS. 7:21).
Al-Qur’an juga tidak pernah mengatakan
bahwa wanita diciptakan untuk pria, tapi ia mengatakan bahwa wanita dan pria
diciptakan untuk satu sama lain, karena keduanya (di alam fisik) saling
membutuhkan. “Hunna libasun lakum wa hunna libasun lahunna” (QS. 2:187).
Artinya, yang satu membutuhkan yang lain.
Substansi Manusia Adalah Roh
Seandainya jasad memiliki peranan dalam
memanusiakan manusia, yakni sebagai penyempurna substansi manusia, atau bagian
darinya, maka tentunya di sana akan ada pembahasan tentang pria dan wanita. Dan
yang ingin diperjelas di sini adalah apakah kedua substansi itu sama? Pada
hakekatnya, setiap manusia dibentuk oleh roh atau jiwanya. Sedangkan jasad
hanya sebagai alat atau kendaraan roh di alam fisik.
Untuk itu, roh bukan pria dan bukan pula
wanita. Artinya, Al-Qur’an membahas tentang kesamaan antara pria dan wanita.
Walaupun demikian, Al-Qur’an juga tidak
menafikan bahwa manusia memiliki tubuh yang berkembang di dunia, di alam
barzakh dan di Hari Kebangkitan. Sebagaimana manusia di dunia, ia memiliki
jasad, maka jasad hanya cabang dan tidak substansial ataupun bagian dari substansi
tersebut. Begitu pula kondisinya di alam barzakh dan pada Hari Kiamat nanti.
Ketika berbicara tentang tubuh lahiriah,
maka Allah swt menisbahkan jasad kepada alam, yakni dari debu dan tanah.
Sedangkan apabila membicarakan tentang roh, maka Ia menisbahkannya kepada
Diri-Nya. “Katakanlah roh itu termasuk urusan Tuhanku” (QS. 17:85).
Gender Bukan Faktor Penenentu Nilai
Al-Qur’an secara jelas memisahkan antara
makna penentu nilai dengan lawannya. Maksudnya adalah seperti ilmu, maka
Al-Qur’an menyebutnya sebagai sesuatu yang memiliki nilai, sedangkan kebodohan
adalah lawannya dan tidak memiliki nilai. Iman adalah nilai sedangkan kekufuran
bukan nilai, dan begitu seterusnya. Artinya, nilai-nilai itu tak ada
hubungannya dengan kepriaan maupun kewanitaan. Begitu pula dengan lawan dari
nilai tersebut, yakni kebodohan bukan milik pria maupun wanita, dan seterusnya.
Roh Sebagai Pemilik Nilai
Sebagaimana dijelaskan, maka nyata
sekali bahwa nilai manusia tidak terkait dengan jendernya, tetapi hal itu
berhubungan dengan roh si manusia tersebut. Sedangkan roh bukan pria maupun
wanita. Untuk itu, nilai kesempurnaan seorang manusia bukan ada pada persamaan
atau pebedaan antara bentuk fisik pria dan wanita, melainkan terletak pada
kesempurnaan roh si manusia itu sendiri yang merupakan pemilik nilai.
Kehidupan Yang Baik
Allah swt berfirman, “Barangsiapa
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. (QS.
An-Nahl:97)
Ayat ini menerangkan bahwa di sana hanya
ada dua yang hal yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan
sempurna.
Pertama, amal saleh.
Kedua, iman atau roh.
Kesimpulan
Pertama, Al-Qur’an membicarakan tentang
pria dan wanita dengan menempatkannya dalam satu inti sebagai manifestasi
adanya roh.
Kedua, dalam Al-Qur’an, Allah telah
menyandarkan pengajaran dan pendidikan kepada roh, sedangkan roh bukan pria dan
bukan pula wanita.
Ketiga, Al-Qur’an mengajarkan beberapa
permasalahan kepada kita dengan tiga jalan, yaitu:
1. Pengetahuan indrawi (hissi).
2. Penalaran (aqli).
3. Pengetahuan sukmawi (syuhudi).
Beberapa Ayat-Ayat Lain Di Dalam
Al-Qur’an Tentang Pria Dan Wanita
* Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh,
Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala
di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.
* Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah
Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
* Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
MultiplyLogo
Do you know Irdy?
Become his contact
Who is on Multiply?
Find your friends
Want to learn more?
Take the Tour
Already a Member?
Sign In
PENYEJUK JIWA
* Home
* Notes
* Blog
* Photos
* Video
* Music
* Reviews
* Recipes
* Links
Recipe Hakikat
Manusia Dec 14, '05 6:39 AM
for everyone
Category: Other
Ingredients:
Hakikat Manusia
Kesadaran Diri
Didalam filsafat kontemporer secara
hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita
tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al Qur'an membuka
pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai kepada
kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran
tertentu, tetapi muncul ketika manusia dihadapkan pada persoalan untuk
memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja.
"Aku" yang kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas
diri dan menyelidiki dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat
historis dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang
mendesak : "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah
tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak
bereksistensi?"
Mengemukakan masalah mengenai pribadi
dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan,
masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar
dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal
tersebut akhirnya memunculkan masalah ke-Tuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam
definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris
ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada
apakah dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa
rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata
"eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara
aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah ke-Tuhanan,
terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang
mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia
yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki
naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang
palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki
naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu
muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri
dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan
masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap
"pusat" atau "sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh
Mircea Elidae :
"Setiap orang cenderung, meskipun
tanpa disadari mengarah ke pusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan
menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam
berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu
di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan dimana
akan ungkapan pusat alam semesta"
Disini kita akan mencoba menelusuri
secara beruntun dari dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz
Dzaariyaat ayat 21:
"Dan juga pada dirimu, maka apakah
kamu tiada memperhatikan" (QS 51:21)
Juga dalam surat Al Hijr ayat 28-29 :
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat : sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan
ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud" (QS 15:28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis
yang jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan
maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia,
yang menurut pandangan malaikat "manusia" adalah makhluk yang selalu
membuat keonaran dan pertumpahan darah (QS 2:30). Tidak kalah sengitnya setan
memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari
unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit
jari dan begitu terheran-heran : rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil
kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan
ini.
Kelembutan ilahi dan kebijakan Tuhan
berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat, "Aku tahu
apa yang tidak kalian ketahui " (QS :2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat
terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah
yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat
pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam
kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia
ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai
kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui
raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan
derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai
kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu
lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah,
sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu
hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah,
semua sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan
benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk
mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat
tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada
mutiara dan permata berupa sifat Ilahi.
Penjelasan di atas merupakan urutan
ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk
yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai "khalifah"
(wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk
menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk
yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya
mampu melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia
terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan Ilahi (QS
15:28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada
kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat
mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas
esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri.
Al Ghazaly yang hidup pada abad
pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam
memandang manusia. Didalam buku-buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia
mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu an nafs
(jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak
bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang
berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkan esensi manusia bukan
fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai
tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri.
Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr atau alam malakut adalah
realitas di luar jangkauan indra dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang.
Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan
aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi
immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui
(Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi
immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen.
Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh berita tentang
akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama
hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang
mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia
mempunyai kemampuan memahami, obyek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai
kemampuan memahami. Kenyataannya tidak demikian, argumen bersifat keagamaan ini
bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari
akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus
percaya akan kenabian dan hari akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan
pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang
kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina
(wafat 1037 M) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan
faktual. Al Ghazaly memperlihatkan, bahwa diantara makhluk-makhluk hidup
terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing.
Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati
mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan
adalah makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak
yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip
tersebut disebut jiwa vegetatif. Hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari
pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain mampu bergerak bervariasi
juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Manusia selain
mempunyai kelebihan dari hewan, juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis
makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan mempunyai pilihan untuk berbuat
atau untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang
memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip
inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang
dikemukakan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya, sehingga ia
berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala
aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam
dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar
bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang
disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir
shafwatu at tafasir karangan prof. As Shabuny mengenai surat Al Qiyaamah ayat
14:
"akan tetapi di dalam diri manusia
ada bashirah (yang tahu)"(QS 75:14).
Kata bashirah ini disebut sebagai yang
tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut
diri (wujud)-nya adalah "Aku".
Wujud "Aku" yang memiliki
sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan,
kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol dengan
perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak
bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia
itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil
Allah, sehingga Allah menyebut tentang "Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang
oleh As Shabuny sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan
Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan
yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran di sini tidak melalui alat, tetapi
bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan
bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan di sini tidak
bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam
perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek
perbuatan itu. Kesadaran di sini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas
dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi
manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal
ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur.
Sang "Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami
pada saat bermimpi. Begitupun kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran
ihsan dengan menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang
timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah.
Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang
di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan
shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan
kesyirikan sedikitpun" (QS 39:11&14). Aktivitas ruhani yang diajarkan
oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu
diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama
satu bulan di bulan Ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan
keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang
tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi
menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri
yang sejati. Maka oleh Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia
lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali
sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa
apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama
dengan kehendak Allah seperti pada surat Ar Ruum ayat 30 :
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS 30:30)
Dalam hal ini manusia tersebut mendapat
karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya
tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada,
kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa
aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini
merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang
diselimuti kekuasaan Allah. Ia tampak begitu jelas dalam gerakan dan keberadaan
alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs
berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik di dalam badan maupun
di luar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak
mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak
mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai
dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau
tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak menerima
pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan
demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada
di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan
tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada
sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan, an nafs semestinya
menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini
tidak mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri
sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam
badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan
badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha
menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh
melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara'. Untuk itu selain kutipan
ayat 29 surat Al Hijr di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi
manusia seperti surat Ali 'Imraan ayat 169 :
"Jangan engkau sangka orang-orang
yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki
disisi Tuhan" (QS 3:169).
"Katakan jiwa itu dari amr
Tuhanku" (QS 17:85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan
jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang
sangat dekat dengan Allah, alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri,
dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan
kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan mencapai hakikat
"diri" serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni
makrifatullah.
Periode pertengahan kejayaaan Islam di
jawa, berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali
songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang
diajarkan, masih banyak menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu.
Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi
peninggalan Hindu dan Budha. Akan tetapi bila kita lihat dengan jernih, ajaran
yang disampaikan oleh beliau tetap memurnikan ketauhidan kita kepada Allah.
Misalnya dalam mantra berbahasa jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta
penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai
"bashirah" (Aku yang mengetahui).
BismIlahirrahmanirrahim (dengan nama
Allah yang maha pengasih dan penyayang).
Melebu Allah..metu Allah (masuknya nafas
karena Allah…keluarnya nafas karena Allah).
Anekadaken urip iku Allah (yang
mengadakan hidup itu Allah).
Utek dunungno kodrate Allah (otak
diletakkan atas kodrat Allah).
Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu
... Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah).
Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi
Muhammad itu rasullullah).
Artinya : (perlu diketahui dalam membaca
kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah
kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas
kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan
pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa kecuali (totalitas). Yang
mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh
makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya
bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan
bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan
berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu
otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah). Wahai zat
yang tidak sama dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu
Rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika
menyikapi dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah
memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.
Kesadaran Universal
Menghayati mulai dari kesadaran fisik
sampai kepada kesadaran transendental dimana kesejatian manusia adalah sesuatu
yang bukan fisik. Dengan kesejatian inilah manusia menunaikan baktinya kepada
Allah sebagaimana fitrahnya (QS 30:30).
Al Qur'an telah banyak mengungkapkan
tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Namun ungkapan ini tidak akan menjadi
suatu kesadaran apabila fikiran dan perasaan jiwa kita tidak pernah dibawa ke
alamnya secara nyata, bukan teori tasawuf yang sulit dimengerti. Kesadaran
dimulai dengan yang sangat sederhana.
Adalah seorang bayi yang tiba-tiba lahir
dengan proses alami. Ia lahir bukan karena permintaan dan kehendaknya. Ia tidak
mengerti untuk apa dilahirkan. Ia tidak punya apa-apa bahkan telanjang serta
malupun tidak punya. Kemudian sekelilingnya memberikan kesadaran secara
bertahap. Mulai dari pemberian nama dan identitas kelamin, dan batasan
kesadaran yang sangat sempit. Ia dikenalkan dengan dirinya bahwa namanya si Anu
dan jenis kelaminnya laki-laki. Diajarkannya pula nama-nama anggota tubuhnya,
ini telinga, ini kepala, ini tangan, dan seterusnya.
Kesadaran ini membuat terikat kepada
sebatas apa yang ia terima (ketahui). Sehingga sang diri terbelenggu dan
tersesat dalam ketidaktahuan siapa yang sebenarnya diri ini. Ada ungkapan
rasullullah "barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan menjadi
hambanya".
Pakaian atau dodot dalam tembang
ilir-ilir sunan Ampel adalah sesuatu yang menimbulkan ikatan pada jiwa
seseorang. Dalam filsafat perenial, pakaian adalah sesuatu yang binding
(mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang
"binding" dengan dunia sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan
kebebasannya (kesadarannya) terbelenggu. Oleh karena itu manusia dalam hidupnya
harus selalu berusaha melakukan "unbinding" terhadap dunia
sekitarnya. Maksudnya manusia harus mulai menyadari keterbatasan dirinya yang
selama ini dijerumuskan oleh pengetahuan yang didapatnya, bahwa diri ini hanya
terbatas pada mata, telinga, kaki serta anggauta tubuh yang kelihatan. Namun
hal ini mustahil kalau saya ungkap secara detail dalam tulisan ini, sebab
kesadaran ini harus dilakukan dengan latihan dan pengisian ilmu pengetahuan
tentang diri secara imanen transendental (pengalaman langsung).
Mari kita perhatikan tentang apa
sebenarnya tubuh ini. Hirupan nafas masuk ke tubuh, lalu sekaligus mengeluarkan
zat residu berupa asam arang. Sekadar bayangan kesadaran tentang diri agaknya
hal-hal di bawah ini akan menolong kita. Ibaratnya keadaan itu bisa diserupakan
dengan penerangan sebuah kota, yang dialirkan oleh sentral listriknya.
Perbandingan ini menjadi semakin tajam apabila disadari dengan ilmu bahwa apa
yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita pandang (sadari) bentuk tubuh manusia
adalah terbatas pada garis nyata. Sehingga kenyataan ini membuat orang tertipu
oleh pengetahuan yang ia miliki. Padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa baik
manusia, logam, tumbuhan dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari suatu
untaian kejadian-kejadian atau proses. Dimana segala alam lahir ini tersusun
oleh senyawa-senyawa kimiawi yang dinamai zarrah (atom).
Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir
adalah satu unit tenaga listrik, yang energi positifnya (proton) berjumlah
sebanyak energi negatifnya (elektron). Di dalam atom ini, terus-menerus setiap
detik terjadi loncatan dan pancaran (charge and spark). Itulah
semburan-semburan yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Semburan atau
loncatan yang tidak putus-putus dengan kecepatan yang sangat luar biasa ini
tidak mampu dilihat dengan mata biasa, kecuali dengan kesadaran ilmu yang
cukup. Sebagaimana Al Qur'an mengungkapkan tentang gunung yang dianggap oleh
orang awam seperti diam tak bergerak :
"Dan kamu lihat gunung-gunung itu,
kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya
awan" (QS 27:88).
Bagi orang awam sebuah gunung atau
pegunungan memang tampaknya kokoh berdiri di tempatnya masing-masing. Jadi
kalau benda-benda termasuk manusia yang dalam surat Al Hijr ayat 28-29
diciptakan dari esensi alam. Maka benarlah apa yang kita namai benda adalah
sebuah bongkahan besar "runtutan peristiwa" loncatan listrik. Maka
disini sama sekali tidak dijumpai lagi suatu yang padat atau baku (tetap).
Bahan yang dipakai untuk pembentukan alam dan manusia bukanlah benda atau
zat-zat akan tetapi ialah "aksi" yaitu aliran berangkai dari
peristiwa-peristiwa. Tidaklah mengherankan bahwa dari bahan-bahan yang sangat
labil ini terbentuklah alam yang selalu berubah-ubah, menjelma dari bentuk ke
bentuk mengikuti suatu proses evolusi.
Sampai disini kesadaran kita sampai
kepada tahapan yang agak abstrak, dimana penglihatan kita malah seakan-akan
kehilangan penglihatan dimana bentuk tubuh yang selama ini kita sadari. Jelas
hal ini membigungkan kesadaran yang telah lama terpatri.
Namun kita telah mencoba melakukan
pembangkitan kesadaran yang lebih luas. Yaitu kesadaran dimana tubuh bukanlah
apa yang kita lihat seperti ini. Tubuh adalah susunan inti materi yang setiap
saat berubah dan berganti. Terbatasnya kesadaran bahwa badan bukan lagi sekedar
tangan, kaki, dan kepala. Akan tetapi berubah meluas menjadi kesadaran
universal, yaitu kesadaran yang tidak ada batas. Pada tingkat kesadaran ini
kita agak bingung, yang mana sebenarnya wujud ini sebenarnya. Karena setelah
ditelusuri secara rinci, bahwa badan yang tadinya disadari sebagai sosok
laki-laki atau wanita yang punya rupa cantik dan gagah. Pelan-pelan terhapus
oleh kesadaran yang lebih luas, yaitu kesadaran jagat raya atau disebut
kesadaran makrokosmos. Bahwa wujud badan ini tidak lagi sesempit dulu, aku
tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki saja. Akan tetapi badanku adalah
angin yang bergerak, atom-atom yang bertebaran serta bergantian saling tukar
dengan benda-benda yang lain, badanku adalah butiran-butiran zarrah yang saling
mengikat, ya….. aku saling ikat dengan tumbuhan, binatang, bumi serta dengan
angkasa yang maha luas. Badanku adalah jagad raya. Dimana kesadaran sudah
berubah luas dan menjadi satu kesatuan dengan lingkugan kita. Kesadaran ini
akan memudahkan mengidentifikasikan siapa diri sebenarnya. Setelah tahu esensi
badan ini. Yaitu kesadaran hakiki yang menggerakkan dan mengatur alam semesta.
Dikatakan dalam Al Qur'an surat An Nahl ayat 12 :
"Dan Dia menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya dalam gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah
-(atau tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mempergunakan
akal" (QS 16:12).
Sebenarnya di dalam ayat ini tercantum
juga ungkapan bahwa Allah menundukkan dan mengatur kelakuan matahari, bintang
dan bulan dengan perintah-Nya. Peraturan inilah yang diikuti oleh seluruh alam
semesta (makrokosmos), bagaimana ia harus bertingkah laku. Ia juga disebut
hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam. Lebih jelas lagi bila kita
baca ayat 11 surat Fushilat :
"Kemudian Dia mengarah kepada
langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi :
"Silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati atau dengan
terpaksa". Jawab mereka : "Kami mengikuti dengan suka hati". (QS
41:11)
Ayat ini membuktikan bahwa alam taat
mengikuti segala perintah dan peraturan sang pencipta. Dan peraturan yang telah
ditetapkan Allah itu tidak berubah selamanya, seperti yang telah ditegaskan
dalam ayat 23 surat Al Fath :
"Sebagai sunatullah (atau peraturan
Allah) yang telah berlaku sejak dahulu, sekali-kali kamu tak akan menemukan
perubahan bagi sunatullah (atau hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah)
itu" (QS 48:23).
Apabila zat-zat, tubuh manusia dan
benda-benda dalam alam sudah dipahami sebagai rangkaian kejadian-kejadian,
serta menurut kemauan sunatullah. Maka sebenarnya atom-atom atau zarrah
bergerak bukan atas kemauannya sendiri, akan tetapi ada sosok yang bukan
dirinya. Dimana atom-atom itu bergerak mengikuti kekuatan yang maha besar.
Benda-benda kecil itu hanya patuh terhadap yang tidak bisa diperbandingkan dengan
sesuatu. Wujud itu begitu absolut, benda-benda ini ternyata mati. Akan tetapi
ia bergerak dan dihidupkan oleh suatu kuasa yang maha besar. Itulah metakosmos
yang hidup, yang perkasa, yang meliputi segala benda, ialah Rabbul alamin…..
Pada kesadaran ini sebaiknya kita
berhenti sejenak dan jangan dipahami dengan pemikiran yang berlarut-larut.
Biarkan Allah yang akan menuntun hati dan pengetahuan tentang ilmu selanjutnya
dengan tetap mematuhkan jiwa dan tubuh kita kehadirat Allah yang Maha Suci.
Apabila kita meluruskan pandangan jiwa dan tubuh kita terhadap
perintah-perintah-Nya (Ad dien) serta menundukkan dan memasrahkan segala
ketaatan. Tubuh ini akan taat seperti taatnya alam semesta tanpa kita rekayasa,
ia akan hidup seperti hidupnya alam, serta ia akan teratur seperti teraturnya
matahari serta planet-planet yang tidak berbenturan. Ia akan patuh seperti
patuhnya malaikat. Demikianlah justru menurut pikiran logis, bahwa adanya diri
(mikrokosmos), dan alam semesta (makrokosmos), telah mengajak kesadaran untuk
sampai kepada pembuktian adanya Allah yang maha ghaib (metakosmos).
Pada pembahasan kali ini, mungkin ada
hal-hal yang menyulitkan pembaca memahami hakikat diri. Untuk itu maka
selanjutnya penulis akan mengajak para pembaca masuk ke dalam dunia yang lebih
kongkrit, yaitu bagaimana melakukan dan memasuki dunia rohani dengan benar.
Pada bab-bab berikutnya akan saya untai praktek-prakteknya dan pembaca bisa
mengikuti dengan seksama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar